Ciptakan Kader Ulama, Mahad Al-Jamiah Al-Aly Berpartisipasi Aktif Dalam Pelatihan Public Speaking untuk Dai Milenial Malang Raya

On 14/09/2020 by Agus Cahyo

Permasalahan agama terus berkembang seiring dengan berputarnya roda globalisasi dan kemajemukan masyarakat. Ulama merupakan tokoh yang senantiasa dibutuhkan untuk mengawal perilaku keagamaan masyarakat dan memecahkan berbagai problematikanya. Begitu pula yang sedang dialami oleh Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar dunia. Berbanding lurus dengan urgensi Ulama ini, Ma’had Al-Jami’ah Al-Aly UIN Maliki memiliki cita-cita luhur untuk menyelamatkan negara ini dari krisis pengetahuan agama. Cita-cita itu ialah menciptakan kader Ulama yang berkompeten, cerdas ilmiah secara lahiriyah dan batiniyah.

Gayung bersambut, demi mewujudkan cita-cita mulia tersebut, pada hari Ahad, 16 Agustus 2020 salah satu perwakilan Ma’had Al-Jami’ah Al-Aly; Lilik Iswanti, turut serta dalam acara “Pelatihan Public Speaking Dai Milenial Malang Raya” yang diselenggarakan oleh tim Dai Intelektual Nusantara Network (DINUN) berkolaborasi dengan tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Brawijaya. Hal ini merupakan kali kedua Ma’had Al-Jami’ah Al-Aly berkesempatan mengirim delegasi untuk mengikuti Pelatihan Public Speaking ini. Tahun kemarin kegiatan serupa terlaksana dengan jangkauan yang lebih luas, yaitu se-Jawa Timur dengan penyelenggara yang sama, yaitu DINUN. Namun kegiatan tahun ini frekuensi peserta diperkecil demi kemudahan ­coaching dan fokus pada kualitas output. Merupakan sebuah kehormatan bagi Ma’had Al-Jami’ah Al-Aly dapat berpartisipasi dalam acara yang luar biasa ini.

Kegiatan ini menyajikan 3 materi  penting tentang dasar-dasar dalam berdakwah. Materi tersebut ialah:

  1. Strategi Marketing Dakwah (Disampaikan oleh: Muhammad A Nasir, S.E., M.M/Dai Milenial & CEO Asthanawa Property Jawa Timur)

Jika barang dagangan perlu dipasarkan dengan cara yang tepat agar menarik pembeli dan sampai pada sasaran, apalagi agama yang mengemban pesan Rahmatan lil ‘Alamin yang harus sampai pada masyarakat luas di lapisan dan belahan bumi manapun. Pemateri dengan gamblang menyampaikan pemetaan cara pengenalan dan perluasan dakwah. Dakwah akan sampai dan tersebar di khalayak ramai dengan tiga kunci:

  1. Kunci pertama terletak pada diri pendakwah dan materi yang dibawanya. Setiap dai harus memiliki personal branding yang menjadikannya bernilai unggul serta mampu menarik jutaan umat. Selama ini, kelebihan yang hanya dimiliki oleh kalangan Nahdliyyin ialah kemampuan membaca dan memahami kitab-kitab warisan para Ulama yang di dalamnya terkandung ilmu furu’ yang melimpah. Hal ini menjadi keunggulan tersendiri dibanding kelompok-kelompok pendakwah lain yang hanya mengandalkan referensi yang bersumber dari Al-Quran dan Sunah. Sedangkan Nahdlatul Ulama juga berpegang pada Ijmak Ulama dan Kiyas serta aqwal Ulama. Dengan demikian secara materi tentu golongan kita memiliki gudang yang lebih luas.
  2. Kunci kedua yaitu Placement atau penempatan dakwah/penggunaan media dakwah. Menilik kehidupan dunia yang serba digital ini, fungsi gawai telah bergeser jauh dari fungsi asal. Saat ini semua hal mampu diraih hanya melalui genggaman tangan. Kendati demikian, pengetahuan keagamaan juga mampu didapat melalui sosial media atau sumber digital lain. Namun, yang menjadi PR besar bagi kita ialah tidak semua konten maupun platform yang berisi dakwah sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jamaah. Memelihara warga Nahdliyyin dari paham-paham yang melenceng dan salah merupakan amanah yang dibebankan di pundak pendakwah. Mengatasi permasalahan tersebut, dai-daiyyah NU juga wajib memperluas jangkauan dakwahnya melalui media sosial.
  3. Kunci ketiga terletak pada objek dakwah atau umat. Sebuah kalam hikmah diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib berbunyi:

خَاطِبُوا النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ

“Serulah manusia berdasar kadar kemampuan berpikirnya”.

Pemahaman atas pertanyaan ‘siapa yang akan kita dakwahi’ termasuk hal yang penting. Masyarakat awam di desa tidak mampu menerima materi dakwah berupa pemaparan ilmiah dengan pembuktian kebenaran sains menurut Al-Quran, misalnya. Begitupula dakwah tidak akan sampai pada anak muda, jika dilakukan dengan teknik menggurui atau menasehati. Pemahaman atas umat yang dimaksud dalam konteks dakwah ini ialah memahami pola pikir mereka dan kadar kemampuan menerima dakwah yang mereka miliki. Semua ini dapat dilakukan dengan cara mengamati tipografi usia, kondisi budaya, adat dan tradisi, serta meninjau hal-hal yang cenderung dilakukan oleh sasaran dakwah tersebut.

  • Strategi dan Teknik Dakwah di Dunia Digital (Disampaikan oleh: Yusli Effendi, S.IP., MA/Dosen FISIP Universitas Brawijaya)

Peribahasa Arab menyatakan:

المَادَّةُ مُهِمَّةٌ وَلَكِنَّ الطَّرِيقَةَ أَهَمُّ مِنهَا

“Materi itu penting, namun lebih penting metode penyampaiannya”

Diibaratkan seperti memanah, dai ibarat pemanah yang memegang kendali. Ilmu agama yang akan didakawahkan ibarat anak panah dan busurnya. Sedangkan objek dakwah (umat) ibarat papan targetnya. Seorang pemanah jika ingin anak panahnya melecut dan jatuh pada papan target yang tepat maka harus menguasai trik panahan yang benar. Selain itu, pemahaman akan cara memanah akan menyelamatkan anak panah meleset atau bahkan melukai orang lain.

Demikian pula dengan berdakwah, seorang dai yang tidak mampu menggunakan strategi dakwah yang tepat, dakwahnya akan meleset dan melenceng dari sasaran. Anak panah dan busur tidak ada hubungannya dengan sampai atau tidaknya pada target utama. Ilmu agama telah tersedia melimpah ruah, bagaimana agar ilmu itu sampai pada khalayak itulah yang menjadi tugas para pendakwah. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi dakwah yang sesuai agar dakwah dapat menyasar masyarakat dengan tepat dan tidak mengalami penolakan. Terlebih di dunia digital ini, strategi “Cekat-Cerdas-Tanggap” sangat diperlukan.

  1. Menghadapi realita hari ini, siap dekat dengan teknologi adalah hal pertama yang harus hadir dalam diri pendakwah. Karena digitalisasi kini semakin merajalela dimana-mana. Hal yang masuk dalam ranah ini ialah pendakwah harus siap menjadi produser, editor dan distributor konten dakwahnya sendiri. Demi tetap tersebarnya dakwah islam yang ramah nan santun meski disampaikan melalui media sosial.
  2. Pengemasan dakwah dengan unik dan kekinian dapat menarik umat untuk menyaksikan dan memperhatikan isi dari dkwah yang dibawa oleh dai maupun daiyyah. Hal ini dapat kita lakukan ketika pada packaging materi dakwah. Misalnya, menetapkan judul dengan kosakata yang unik, mengundang penasaran, dan mengandung unsur persuasif. Contohnya, judul dakwah “Pacaran setelah menikah” dengan “Tenang! Pacaran itu Halal” tentu akan menemui kesan yang berbeda di benak penonton. Jika keduanya diunggah di akun medsos; youtube misalnya, maka judul kedua yang akan lebih banyak mengundang rasa penasaran dan ketertarikan.
  3. Pemilihan topik yang kurang tepat akan mengurangi minat jamaah online untuk mengunjungi majlis tersebut. Setelah berhasil membuat jamaah tertarik melalui judul, pembahasan topik yang tidak relevan dengan keadaan juga berpotensi diabaikan umat. Hendaknya pendakwah mengamati keadaan sekitar dan peristiwa yang menjadi trending topic di kalangan masyarakat. Banyak pembahasan yang dapat dilahirkan dari inti agama yaitu akidah, syariah dan mu’amalah. Sehingga pendakwah tidak dihalalkan beralasan ‘kurang bahan’ dalam proses i’la-i kalimatillah ini.
  4. Pengelolaan materi juga memegang peranan penting dalam strategi berdakwah. Seringkali sebuah konten berisi dakwah di media sosial diabaikan atau di-skip tengah-tengah karena penyampaian yang monoton dan tegang. Masyarakat hari ini cenderung menyukai dakwah yang tidak menggurui, soft, praktis, pemaparan jelas dengan contoh real, dan penyisipan humor tidak boleh ketinggalan. Selain itu, jika menilik sebab mereka lebih tertarik dakwah online karena sempitnya waktu yang mereka punya dan berbagai alasan yang berputar-putar pada ruang-waktu-jarak lainnya, kita harus pandai berinisiasi. Dakwah di media sosial tidak boleh memakan waktu lama, namun harus tetap sampai poin utamanya. Maka membagi materi dakwah menjadi beberapa bagian, bisa jadi solusinya. Jika dikemas dalam bentuk video maka tidak lebih dari 3-5 menit. Dan jika berbentuk tulisan hendaknya tidak melebihi 3000 kata. Atau dalam arti lain yang mampu dibaca dalam waktu sekali duduk, ketika jalan, waktu istirahat dan tidak terdiri dari kalimat dan paragraf panjang yang menjenuhkan mata.

Pages: 1 2

Leave a Reply