WAKAF MENURUT KACA MATA FIQH KONTEMPORER

On 31/10/2019 by Agus Cahyo

Jurnalis Ma’had al-Jami’ah al-Aly. Setiap manusia, terutama umat Islam tentunya ingin berinvestasi. Sementara investasi yang paling kekal dan bisa kita panen selamanya adalah wakaf. Hampir setiap umat Muslim di Indonesia berwakaf, baik berupa wakaf tanah, wakaf uang, dan lain sebagainnya guna ingin mengamalkan amaliyah Rasulullah saw tentang wakaf yang manfaatnya akan terus-menerus mengalir, sekalipun pewakafnya telah meninggal. Mari kita telaah kembali materi fiqh tentang wakaf.

Wakaf secara etimologi (lughawy) bermakna tahbis atau tasbil, yaitu menahan atau menghentikan. Sedangkan secara terminologi (syar’i) adalah membekukan harta yang dapat dimanfaatkan dengan tetapnya wujud dari harta tersebut, serta tidak mentasharufkan fisik dari harta tersebut. Dalam hal ini, wakaf bertujuan untuk disalurkan dalam hal kebaikan dan kemaslahatan umum sebagai ibadah kepada Allah SWT.

Ayat yang menjelaskan tentang wakaf antara lain termaktub di dalam QS. Ali Imran ayat 92:

لَنْ تَنَالُوا اْلبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ

“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik. Dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. Al-Thalaq (65): 6)

Adapun hadis yang menjelaskan tentang wakaf diantaranya adalah hadis umar bin khattab ketika mewakafkan tanah di Khaibar.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيْهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَاْبنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمُ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ

“Dari Ibn Umar ra, bahwa Umar bin Khattab mendapatkan bagian tanah di Khaibar, kemudian ia menemui Nabi Muhammad saw untuk meminta arahan. Umar berkata: ‘Wahai Rasulullah saw, aku mendapatkan kekayaan berupa tanah yang sangat bagus, yang belum pernah kudapatkan sebelumnya. Apa yang akan engkau sarankan kepadaku dengan kekayaan itu?’ Nabi bersabda: ‘Jika kamu mau, kau bisa mewakafkan pokoknya dan bersedekah dengannya.’ Lalu Umar menyedekahkan tanahnya dengan persyaratan tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Umar menyedekahkan tanahnya untuk orang-orang fakir, kerabat, untuk memerdekakan budak, sabilillah, ibn sabil, dan tamu. Tidak berdosa bagi orang yang mengurusinya jika mencari atau memberi makan darinya dengan cara yang baik dan tidak menimbun.” (HR. Bukhari)

Begitu juga, wakaf pun termasuk dalam kategori sedekah jariyah yang manfaatnya terus mengalir dan pahalanya melimpah bagi pewakafnya (waqif).

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Ketika manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang selalu mendoakannya.” (HR. Muslim)

Wakaf harus memenuhi syarat dan rukun sebagaimana mu’amalah lainnya. Adapun rukun wakaf antara lain sebagai berikut:

Pertama, Waqif adalah orang yang mewakafkan. Syaratnya antara lain:

  1. Shihah al-‘ibarah, maksudnya waqif haruslah orang yang baligh, berakal dan merdeka.
  2. Ahliyah al-tabarru’. Maka dalam hal ini orang yang safih (bodoh) tidak sah dalam melakukan wakaf, karena ia termasuk dari mahjur ‘alaih (orang yang penggunaan hartanya dibekukan).

Kedua, Mauquf ‘alaih adalah sasaran/penerima wakaf. Ada kalanya mauquf ‘alaih itu mu’ayyan (tertentu orangnya), misalnya: berwakaf untuk satu orang, yakni Umar atau ghairu mu’ayyan (tidak tertentu orangnya), misalnya: wakaf untuk kepentingan umum, seperti masjid. Syarat dari mauquf ‘alaih itu ada dua:

  1. Tidak adanya tujuan maksiat
  2. Dapat diserah terimakan.

Ketiga, Mauquf adalah barang yang diwakafkan. Syaratnya antara lain:

  1. Berupa barang yang ditentukan (‘ain mu’ayyanah)
  2. Dimiliki oleh waqif yang dapat dialihkan hak miliknya
  3. Kemanfaatan dari mauquf akan terus wujud
  4. Kemanfaatan barang bersifat mubah, bukan haram

Keempat, Sighat adalah lafal ketika mewakafkan. Disyaratkan adanya ungkapan secara lafal dan tidak diberikan tenggang waktu.
(Lilik Iswanti)

Berikut ini adalah hasil musyawarah kitab keempat Ma’had al-Jami’ah al-‘Aly tentang wakaf yang bisa diunduh disini

Leave a Reply