Jurnalis Ma’had al-Jami’ah al-Aly. Fenomena mu’amalah sekarang pasti tidak asing lagi dengan istilah “wakalah” atau “perwakilan”. Mari kita simak lebih lanjut penjelasannya.
Secara etimologi wakalah adalah memasrahkan atau pemberian hak kuasa penuh. Sedangkan menurut terminologi adalah pelimpahan seseorang kepada orang lain atas urusan yang boleh ia lakukan sendiri dan boleh diambil orang lain agar dilakukan ketika ia masih hidup. Definisi ini sebagaimana termaktub dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib:
وَهُوَ فِي اللُّغَةِ التَّفْوِيْضُ وَفِي الشَّرْعِ تَفْوِيضُ شَخْصٍ شَيْئًا لَهُ فِعْلُهُ مِمَّا يَقْبَلُ النِّيَابَةَ إِلَى غَيْرِهِ لِيَفْعَلَهُ حَالَ حَيَاتِهِ
Ayat tentang wakalah dijelaskan pada QS. al-Nisa’ ayat 35. Allah SWT berfirman:
فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
“maka kirimlah seorang hakam (wakil) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 35).
Begitu juga disebutkan dalam hadis muttafaq ‘alaih tentang Rasulullah saw mewakilkan urusannya kepada para petugas zakat untuk menarik zakat. Di hadis yang lain juga dijelaskan bahwa beliau mewakilkan kepada Amr bin Umayyah dalam menerima pernikahan Ramlah binti Abi Sufyan ra berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi
أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ السُّعَاةَ لِأَخْذِ الزَّكَاةِ
“Sesungguhnya Nabi saw, mengutus para petugas zakat untuk menarik zakat.” (HR. Bukhari Muslim)
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَّلَ عَمْرو بْنَ أُمَيَّة الضَّمْرِيّ فِي قَبُولِ نِكَاحِ أُمِّ حَبِيْبَةَ رَمْلَةَ بِنْتَ أَبِي سُفْيَانَ
“Sesungguhnya Rasulullah saw, mewakilkan kepada Amr bin Umayyah al-Dlamry dalam menerima pernikahan Ummi Habibah, Ramlah binti Abi Sufyan.” (HR. Al-Baihaqi).
Wakalah adalah akad jaiz min al-tharafain. Oleh karena itu, bagi salah satu diantara kedua belah pihak boleh untuk membatalkan akad, kapanpun ia mau. Di dalam kitab al-Fiqh al-Manhajy diperinci lebih dalam tentang klasifikasi hukum wakalah, antara lain:
Dalam wakalah, terdapat empat rukun yang harus dipenuhi, antara lain:
Pertama, Muwakkil; pihak yang memasrahkan urusannya kepada orang lain sebagai pengganti dirinya. Syarat dari muwakkil ini adalah jaiz fi al-tasharuf (legal untuk melakukan tasharuf), baik karena kepemilikan atau perwalian.
Kedua, Wakil; orang yang mewakili urusan orang lain atas izin dari pihak muwakkil. Syaratnya ada dua: mampu untuk mengendalikan atau mengelola urusan yang diwakilkan kepadanya dan sudah ditentukan oleh muwakkil.
Ketiga, Muwakkal fih; urusan yang dipasrahkan. Syaratnya antara lain:
Keempat, Sighah; ijab kabul yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Syaratnya adalah adanya ungkapan dari muwakkil yang menujukkan kerelaan atas sebuah perwakilan yang ia lakukan dan tidak adanya ta’liq (penggantungan) dengan adanya sebuah syarat. (Rusyda Fauziah Azzadi)
Berikut ini adalah hasil musyawarah kitab Ma’had al-Jami’ah al-Aly kedua yang dapat diunduh disini
Tinggalkan Komentar