SYAWIR PROGRAM MA’HAD AL-JAMI’AH AL-ALY (Tema : Fenomena Mu’amalah dengan sistem pengadaian)

On 24/09/2019 by admin

Jurnalis Ma’had al-Jami’ah al-Aly, Fenomena mu’amalah sekarang pasti tidak asing lagi dengan istilah “gadai” atau “pegadaian”. Mari kita simak lebih lanjut penjelasannya.

Rahn (gadai) secara bahasa berarti tetap. Sedangkan menurut istilah fiqih adalah menjadikan barang yang bernilai sebagai jaminan utang yang menjadi alat pelunasan ketika sulit untuk melunasinya. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Syekh Ibn Qasim al-Ghazi dalam kitabnya Fath al-Qarib al-Mujib:

وَهُوَ لُغَةً الثُّبُوتُ وَشَرْعاً جَعْلُ عَيْنٍ مَالِيَةٍ وَثِيْقَةً بِدَيْنٍ يُسْتَوْفَى مِنْهَا عِنْدَ تَعَذُّرِ اْلوَفَاءِ.

Apabila akad rahn sudah terjadi dan barang yang digadaikan telah diterima oleh pihak penerima gadai (murtahin), maka pihak pegadai (rahin) tidak diperbolehkan untuk mengambil barang yang digadaikan atau melakukan pembatalan akad dengan sepihak. Akad rahn adalah akad lazim min al-tharafain, maksudnya adalah kesepakatan dari dua belah pihak yang tidak bisa dibatalkan. Sedangkan lawannya adalah jaiz min al-tharafain, yakni yang bisa digagalkan oleh salah satu diantara kedua belah pihak.

Dasar kebolehan akad rahn adalah firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 283

…وَإِن كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقبُوضَةِ…

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang pencatat, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah (2): 283)

Dan juga hadis yang ditakhrij oleh Bukhari dan Muslim:

أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم رَهَنَ دِرْعَهُ عِنْدَ يَهُودِيٍّ يُقَالُ لَهُ أَبوُ الشَّحْمِ عَلَى ثَلَاثِين صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ لِأَهْلِهَا

“Sesungguhnya Nabi saw menggadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi, Abu al-Syahm sebagai jaminan atas 30 sha’ gandum untuk keluarga beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam transaksi rahn, setidaknya harus memenuhi 4 rukun, antara lain:

  1. Marhun (benda yang digadaikan). Marhun sendiri juga harus memenuhi dua syarat agar bisa dijadikan jaminan gadai, yaitu:
    1. Sah untuk diperjual belikan
    2. Haruslah benda, bukan manfaat
  2. Marhun bih (piutang yang menjadi sebab adanya penggadaian). Hal ini juga harus memenuhi empat syarat, antara lain:
    1. Beban tanggungan yang ditanggung adalah hutang (dain) bukan barang yang telah ditentukan (‘ain)
    2. Diketahui besaranya oleh kedua belah pihak
    3. Telah wujud (tsabit) dalam tanggungan
    4. Telah bersifat final dan mengikat yang tidak bisa dibatalkan
  3. Dua orang yang bertransaksi, yaitu rahin dan murtahin.
  4. Adanya sighah (ucapan transaksi). Hal ini ditunjukkan oleh adanya ijab dan qabul.

Akad rahn selain disebut dengan lazim min al-tharafain, juga disebut dengan aqd al-amanah, artinya penerima gadai (murtahin) tidak mengganti barang gadai kecuali ia ceroboh. Ketika pegadai (rahin) menerima sebagain pelunasan hutang, tidak lantas ada sedikit barang gadai yang boleh diambil hingga telah terlunasi semua hutangnya. (Nur A’iza Lizayanti)

Untuk lebih jelasnya, hasil syawir Mahasantri Program Ma’had al-Jami’ah al-Aly tentang rahn, bisa diunduh di link berikut : Download  

Leave a Reply