Kontekstualisasi Turats di Era Milenial: Yang Tersurat Selalu Menyimpan Makna Yang Tersirat

On 20/08/2019 by admin

Jurnalis MSAA, Untuk pertama kalinya Ma’had Al-Jami’ah Al-Aly UIN Malang mengadakan acara Masa Ta’aruf Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah Al-Aly pada tanggal 2-4 Agustus 2019. Acara yang diselenggarakan selama tiga hari tersebut digunakan sebagai wadah pengenalan budaya dan akademik ‘ke-mahad aly-an’ serta ajang untuk mempererat hubungan antar mahasantri. Mahasiswa Kelas 2 (sebutan untuk generasi pertama mahasantri Mahad Al-Jami’ah Al-Aly) didapuk sebagai panitia penyelenggara dengan mahasiswa kelas 1 (sebutan untuk generasi kedua) sebagai pesertanya.

Materi yang dikaji dalam acara tersebut sangat beragam dan berbobot. Semuanya berkaitan dengan kitab al-turats (kitab kuning). Salah satu diantaranya adalah materi tentang “Kontekstualisasi Kitab Turats di Era Milenial” yang disampaikan oleh Ust. Hamim Hudlori (Direktur Aswaja Center Kabupaten Malang). Beliau mengawali materinya dengan mengutip salah satu hadis populer yang juga digunakan asas oleh fuqoha sebagai kata pertama dalam karyanya setelah basmalah yang berbunyi:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan, maka Allah akan memberikannya paham dalam agama.”

“Islam itu moderat, karena moderat sendiri adalah ajaran Islam. (termasuk) konsep kemoderatan Islam adalah tidak anti Tuhan dan tidak pro dengan Trinitas”, lanjut beliau. Dengan konsep ini Islam memiliki keseimbangan antara perintah dan larangan dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga lahirlah hukum-hukum agama dalam bingkai fiqih.

Memutuskan dan menerapkan hukum fiqhiyah tidak serta-merta menyalin hukum dari teks turats kedalam sebuah problematika, melainkan butuh sikap kebijaksanaan sebagai keahlian khusus. Sebagaimana yang terjadi pada era sahabat. Pakar fiqih di zaman tersebut adalah Mu’adz bin Jabal, sedangkan pakar hukumnya adalah Ali bin Abi Thalib. Bagaimana bisa? Padahal putusan hukum itu tergantung pada fiqih. Hal demikian dikarenakan dalam memutuskan hukum, diperlukan adanya keahlian khusus sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Maka selain memahami teks kitab, seyogyanya juga dapat memahami ‘medan’ yang sedang di hadapi. Imam Al-Qarafi dalam kitab al-Anwar al-Buruq (2/229) juga menegaskan larangan untuk terlalu condong kepada teks.

Di hadapan para audiens, Ust. Hamim Hudori menuturkan adanya lima prinsip perlindungan yang menjadi acuan dalam hukum fiqh. Prinsip-prinsip tersebut meliputi: agama (الدين), jiwa (النفس), akal (العقل), genetik (النسل), dan harta (المال), sehingga hukum apapun yang tertera dalam fiqih selalu mempertimbangkan keberlangsungan hal tersebut.

Selain menjabarkan secara teori, beliau juga menyertakan beberapa contoh menyikapi kasus yang harus dipahami secara kontekstual. Pertama, maksud dari istilah ‘kontan’ dalam naskah kitab turats adalah seperti ketika seseorang membeli baju (secara kontan) tidak harus dibayar seketika di majelis (tempat jual beli), tetapi jika sewaktu-waktu ditagih maka harus dibayar. Sebagaimana mahar nikah, tidak harus diberikan pada waktu akad nikah, boleh satu minggu kemudian atau saat si istri memintanya. Berbeda dengan istilah ‘tempo’ (kredit) yang harus dibayarkan sebelum jatuh tenggang waktu.

Kedua, jual beli dengan menggunakan alat pembayaran yang mudah (sah). Tidak harus dengan dinar atau dirham sekalipun teks yang tertera dalam hadits dan kitab turats adalah menggunakan keduanya. Namun secara konteks, menggunakan uang pun tidak masalah. Karena memang pada zaman Rasulullah saw, alat pembayaran yang mudah adalah emas atau perak, berbeda dengan zaman sekarang yang lebih mudah menggunakan uang.

Ketiga, perbedaan hukum air yang tidak sengaja dimasuki lalat dan yang disengaja. Air yang sengaja dimasuki lalat hukumnya najis (tidak ada rukhsoh). Mengapa demikian? Karena memasukkan bangkai dalam makanan itu tergolong maksiat.

Di akhir forum beliau mengatakan, “Selama pendapat ulama itu bisa dipahami secara kontekstual, maka niscaya kitab turats pasti bisa menjawab semua permasalahan yang ada”. Seketika para audiens di Halaqah HTQ tersebut tercerahkan dengan tugas dan tanggung jawab yang harus mereka lakukan. (Rizqi Amaliya Putri)

Leave a Reply