ARGUMENTASI HUKUM PUASA RAJAB PERSPEKTIF EMPAT MAZHAB

On 02/03/2020 by Agus Cahyo

Rajab merupakan bulan ketujuh dalam hitungan kalender hijriyah. Bulan ini termasuk salah satu bulan dari empat bulan yang dimuliakan oleh Allah Swt. Hal ini sangat jelas termakhtub dalam firman Allah SWT yang berbunyi:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ التوبة: 36

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah itu ada dua belas bulan (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Diantaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam bulan yang empat itu. Dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuannya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Taubah [9]: 36)

Banyak literatur yang menjelaskan tentang fadhilah bulan Rajab. Salah satunya terdapat hadits sebagaimana disadur dalam Jami’ al-Ahadits karya Jalaluddin al-Suyuthi:

رَجَبُ شَهْرُ اللّٰه وَشَعْبَانُ شَهْرِى وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِى (أبو الفتح بن أبى الفوارس فى أماليه عن الحسن مرسلاً . [الديلمى عن أنس]

“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban itu bulanku, dan Ramdlan adalah bulan umatku.” Dari Abu al-Fath bin Abu al-Fawaris dari al-Hasan dengan status hadis mursal yang diriwayatkan oleh al-Dailami dari Anas. (Jami’ al-Ahadits, 13/109)

Ibn Rajab juga menyadur dalam kitabnya Lathaif al-Ma’arif, sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Bakr al-Warraq al-Bulkhi tentang keutamaan bulan Rajab sebagaimana berikut:

شَهْرُ رَجَبَ مِفْتَاحُ أَشْهُرِ اْلخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ اْلوَرَّاقِ اْلبُلْخِيّ شَهْرُ رَجَبَ شَهْرُ الزَّرْعِ وَشَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ السَّقْيِ لِلزَّرْعِ وَشَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرُ حِصَادِ الزَّرْعِ

“Rajab adalah sebaik-sebaik bulan yang didalamnya kunci pembuka kebaikan dan barakah. Abu Bakr al-Warraq al-Bulkhi berkata: Rajab adalah bulan untuk menanam, Sya’ban adalah bulan untuk menyiram, dan Ramadhan adalah bulan untuk memanen.” (Lathaif al-Ma’arif, h. 234, Cet. Dar Ibn Katsir)

Meskipun terdapat banyak hadis yang menjelaskan fadhilah bulan Rajab, namun banyak asumsi umat Islam yang menganggap hadis-hadis yang tersebar merupakan hadis dha’if. Hanya saja menurut Al-Hafiz Ibn Hajr al-Asqalani, hadis dha’if masih diperbolehkan untuk dijadikan fadhail al-a’mal.

Lalu pertanyaan yang sering muncul ketika memasuki bulan Rajab adalah tentang hukum puasa Rajab. Sebenarnya bagaimana fuqaha menyikapi hal tersebut? Penulis akan fokus menguraikan argumentasi-argumentasi empat mazhab terkai t hukum puasa di bulan Rajab.

Mazhab Hanafi

Di dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyyah disebutkan fatwa yang menyatakan anjuran berpuasa di bulan Rajab sebagaimana berikut:

(الْمَرْغُوبَاتُ مِنْ الصِّيَامِ أَنْوَاعٌ) أَوَّلُهَا صَوْمُ الْمُحَرَّمِ وَالثَّانِي صَوْمُ رَجَبَ وَالثَّالِثُ صَوْمُ شَعْبَانَ وَصَوْمُ عَاشُورَاءَ وَهُوَ الْيَوْمُ الْعَاشِرُ مِنْ الْمُحَرَّمِ عِنْدَ عَامَّةِ الْعُلَمَاءِ وَالصَّحَابَةِ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ

“Termasuk puasa yang disenangi ada beberapa macam, antara lain: 1) puasa di bulan Muharram, 2) puasa di bulan Rajab, 3) puasa di bulan Sya’ban, ‘Asyura; yaitu hari ke-sepuluh dari bulan Muharram menurut mayoritas Ulama’ dan Shahabat ra.” (al-Fatawa al-Hindiyyah, 1/202)

Di dalam kitab Fath al-Qadir juga disebutkan tentang kewajiban memenuhi puasa nazar di bulan Rajab, apabila ia bernazar:

وَلَوْ قَالَ : شَهْرًا لَزِمَهُ كَامِلًا أَوْ رَجَبَ لَزِمَهُ هُوَ بِهِلَالِهِ

“Apabila seseorang menyatakan: (ia bernazar berpuasa) sebulan, maka ia harus memenuhinya secara penuh atau (ia bernazar berpuasa) di bulan Rajab, maka ia juga harus memenuhinya dengan berpedoman dengan hilalnya.” (Fath al-Qadir, 4/452)

Dari kitab induk di atas yang berafiliasi pada Mazhab Hanafi ini, jelas sekali bahwa posisi mazhab ini mengakui bahwa puasa Rajab merupakan puasa yang disenangi.

Mazhab Maliki

Di dalam kitab Kifayat al-Thalib al-Rabbani dijelaskan tentang puasa bulan Rajab yang masuk kategori puasa yang disenangi:

وَ) كَذَلِكَ صَوْمُ شَهْرِ (رَجَبَ) مُرَغَّبٌ فِيهِ لِمَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ سُئِلَ عَنْ صِيَامِ رَجَبٍ فَقَالَ: أَخْبَرَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ»

“Begitu juga demikian bahwa puasa di bulan Rajab termasuk puasa yang disenangi berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa Sa’id bin Jubair ditanya tentang puasa Rajab. Ia berkata: Ibn Abbas telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah Saw sering berpuasa hingga kami mengatakan seolah-olah beliau tidak pernah berbuka, namun juga beliau sering tidak berpuasa (berturut-turut) hingga kami mengatakan seolah-olah beliau tidak berpuasa.” (Kifayat al-Thalib, 2/531)

Kemudian dijelaskan lebih detail dalam Hasyiyah al-‘Adawi ‘ala Kifayat al-Thalib al-Rabbani yang menjelaskan bahwa pahala berpuasa di bulan Rajab itu lebih besar dibandingkan berpuasa di bulan yang lain, hanya saja tetap tidak bisa mengalahkan pahala berpuasa di bulan Muharram:

تَنْبِيهٌ: ظَاهِرُ كَلَامِهِ أَنَّ ثَوَابَ صَوْمِهِ يَفْضُلُ ثَوَابَ صَوْمِ غَيْرِهِ وَلَوْ مِنْ بَاقِي الْحُرُمِ إذْ لَوْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لِذِكْرِهِ دُونَ بَاقِيهَا وَجْهٌ وَلَيْسَ كَذَلِكَ كَمَا أَشَارَ لَهُ الشَّيْخُ زَرُّوقٌ بَلْ وَرَدَ أَنَّ صَوْمَ الْمُحَرَّمِ أَفْضَلُ مِنْ صَوْمِ رَجَبَ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ الْحُرُمِ.

“Dari perkataan di atas menunjukkan bahwa pahala berpuasa di bulan Rajab lebih besar dibandingkan pahala berpuasa di bulan selainnya, meskipun termasuk bagian dari bulan-bulan yang dimuliakan. Sebab apabila tidak demikian, maka tidak akan disebutkan pendapat yang menyatakan tentang puasa itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Syekh Zarruq. Namun puasa Muharram tetap lebih utama (pahalanya) dibandingkan puasa Rajab atau bulan-bulan yang dimuliakan lainnya.” (Hasyiyah al-‘Adawi ‘ala Kifayat al-Thalib al-Rabbani, 2/407)

Selain itu, ulama dari kalangan Mazhab Maliki dalam berbagai pendapat yang termaktub dalam karya-karyanya juga menyebutkan demikian. Sehingga posisi Mazhab Maliki juga mengakui tentang kesunnahan puasa Rajab secara mutlak.

Mazhab Syafi’i

Dalam Mazhab Syafi’i, banyak sekali literatur yang menyebutkan tentang kesunnahan berpuasa di bulan Rajab. Pendapat-pendapat tersebut disadur dalam berbagai kutub al-muthawwalat (kitab-kitab yang luas pembahasannya). Seperti dalam kitab Majmu’ Syarh al-Muhazzab karya al-Nawawi disebutkan tentang termasuk puasa yang dianjurkan adalah puasa di bulan yang dimuliakan:

قَالَ أَصْحَابُنَا وَمِنْ الصَّوْمِ الْمُسْتَحَبِّ صَوْمُ اْلاَشْهُرِ الْحُرُمِ وَهيَ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ وَأَفْضَلُهَا الْمُحَرَّمُ قَالَ الرُّويَانِيُّ فِي الْبَحْرِ أَفْضَلُهَا رَجَبُ وَهَذَا غَلَطٌ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ الَّذِي سَنَذْكُرُهُ إنْ شَاءَ الله تعالى ” اَفْضَلُ الصَّوْمِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ”

“Murid-murid kami (Imam Syafi’i) berkata: Termasuk dari puasa yang disunnahkan adalah puasa di bulan-bulan yang dimuliakan; Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Bulan yang paling mulia adalah bulan Muharram. Imam al-Ruyani dalam kitabnya al-Bahr menyebutkan bahwa bulan yang paling mulia adalah bulan Rajab. Pendapat ini dibantahkan dengan adanya hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: ‘Puasa yang paling mulia setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah; Muharram.’” (al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, 6/386)

Ibn Hajar al-Haitami di dalam kitabnya al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra dengan lantang membantah orang-orang yang mengatakan bahwa puasa Rajab termasuk bid’ah dan terlarang. Beliau memang mengakui bahwa sebagian dalil tentang puasa Rajab adalah hadis maudlu’ (palsu), namun Ulama Mazhab Syafi’i tidak menggunakan dalil tersebut. Beliau menyatakan:

وَقَدْ تَقَرَّرَ أَنَّ الْحَدِيثَ الضَّعِيفَ وَالْمُرْسَلَ وَالْمُنْقَطِعَ وَالْمُعْضَلَ وَالْمَوْقُوفَ يُعْمَلُ بِهَا فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ إجْمَاعًا وَلَا شَكَّ أَنَّ صَوْمَ رَجَبَ مِنْ فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ فَيُكْتَفَى فِيهِ بِالْأَحَادِيثِ الضَّعِيفَةِ وَنَحْوِهَا وَلَا يُنْكِرُ ذَلِكَ إلَّا جَاهِلٌ مَغْرُورٌ

“Dan merupakan ketetapan bahwa hadis dla’if, mursal, munqathi’, mu’dlal, dan mauquf itu bisa diamalkan dalam hal fadhail al-a’mal secara ijma’. Tentunya tidak diragukan lagi bahwa puasa Rajab termasuk dari fadhail al-a’mal. Maka cukup berlandaskan pada hadis-hadis dha’if dan semisalnya. Dan tidak ada yang mengingkari kesimpulan ini kecuali orang yang bodoh yang tertipu.” (al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, 2/54)

Oleh karena itu, klaim bid’ah atau haram atas tradisi puasa di bulan Rajab tidak memiliki dasar yang kuat itu terbantahkan. Sehingga posisi Mazhab Syafi’i sama seperti Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki dalam hal kesunnahan berpuasa di bulan Rajab.

Mazhab Hanbali

Fuqaha mazhab ini sedikit berbeda dalam menyatakan status hukum berpuasa di bulan Rajab. Sebagaimana dinukil dalam kitab al-Mughni karya Ibn Qudamah yang menyatakan makruh bagi orang yang mengkhususkan berpuasa di bulan Rajab saja:

فَصْلٌ: وَيُكْرَهُ إفْرَادُ رَجَبَ بِالصَّوْمِ. قَالَ أَحْمَدُ: وَإِنْ صَامَهُ رَجُلٌ أَفْطَرَ فِيهِ يَوْمًا أَوْ أَيَّامًا بِقَدْرِ مَا لَا يَصُومُهُ كُلَّهُ

“Dimakruhkan bagi orang yang mengkhususkan bulan Rajab untuk berpuasa. Ahmad berkata: apabila seseorang berpuasa, maka hendaknya ia berbuaka sehari atau beberapa hari sekiranya dia tidak berpuasa sebulan penuh.” (al-Mughni li Ibn Qudamah, 3/171)

Hanya saja kemakruhan tersebut bisa hilang sebab tidak berpuasa sebulan penuh, artinya seseorang menyelingi dengan berbuka sehari maupun beberapa hari. Sebagaimana diungkapkan dalam Kasyaf al-Qina’:

(وَتَزُولُ اْلكَرَاهَةُ بِفِطْرِهِ فِيْهِ وَلَوْ يَوْمًا أَوْ بِصَوْمِهِ شَهْرًا آخَرَ مِنَ السَّنَةِ قَالَ اْلمُجِدُّ وَإِنْ لَمْ يَلِهِ) أي يَلِي الشَّهْرَ اْلآخَرَ رَجَبُ (وَلاَ يُكْرَهُ إِفْرَادُ شَهْرِ غَيْرِهِ) أي غَيْرِ رَجَبَ بِالصَّوْمِ

Status makruh (dalam puasa Rajab) bisa hilang sebab seseorang berbuka (tidak berpuasa) di bulan Rajab walaupun hanya sehari atau berpuasa Rajab (dengan diiringi berpuasa) di bulan yang lain pada tahun tersebut. Al-Mujidd berkata: meskipun bulan yang lain itu tidak bersambung dengan bulan Rajab. Dan juga tidak dimakruhkan mengkhususkan puasa di selain bulan Rajab.(Kasyaf al-Qina’, 2/340)

Dengan demikian, Mazhab Hanbali hanya menyatakan makruh dalam hal mengkhususkan puasa Rajab sebulan penuh, namun status makruh tersebut hilang sebab tidak berpuasa sebulan penuh atau menyambungkan dengan bulan lainnya.

Jelas sekali dari argumentasi empat mazhab di atas, bahwa keempat mazhab ini tidak ada yang menyatakan haram terhadap puasa di bulan Rajab. Hanya saja terdapat kemakruhan dalam Mazhab Hanbali tatkala mengkhususkan puasa di bulan Rajab saja, sebab bisa menyerupai bulan Ramadhan. Namun hal ini hanyalah masalah khilafiyah yang mu’tabar, sehingga berlaku kaidah:

لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ  اْلمـُجْمَعُ عَلَيْهِ

Masalah yang masih diperselisihkan (keharamannya) tidak boleh diingkari, tapi harus mengingkari masalah yang sudah disepakati (keharamannya)(al-Asybah wa al-Nadzair, h. 158, Cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)

Oleh karena itu, berpuasa di bulan Rajab tetap mendapatkan kesunnahan dan tidak ada dalil sharih yang menyatakan keharaman berpuasa di bulan mulia ini. (Muhammad Fashihuddin)

Leave a Reply