HUKUM FIQH KONTEMPORER SEPUTAR HIBAH

On 31/10/2019 by Agus Cahyo

Jurnalis Ma’had al-Jami’ah al-Aly- Hibah bukanlah hal yang asing lagi di telinga kita. Sering kali kita memberikan sesuatu kepada orang lain sebagai bentuk penghormatan maupun apresiasi, itulah contoh sederhana dari hibah. Allah SWT telah memerintahkan hamba-Nya untuk selalu menebar kebaikan antar sesama, misalnya dengan menghibahkan sebagian harta kita. Salah satu dalil tersebut adalah dalam QS Al-Maidah (5:2).

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ

“dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa” (QS. Al-Maidah (5): 2)

Konsep Hibah telah dijelaskan secara detail dalam kitab-kitab fiqh klasik seperti kitab fath al-Qarib al-Mujib. Untuk lebih memahami konsep hibah dalam pandangan fikih, mari kita pelajari bersama-sama uraian Hibah berikut ini.

Secara bahasa, hibah berati lewat yaitu lewatnya sebuah pemberian dari satu tangan ke tangan yang lain. Atau bermakna bangun karena pelakunya terbangun untuk melakukan kebaikan. Sedangkan hibah menurut istilah yaitu memberikan hak kepemilikan barang kepada orang lain tanpa adanya imbalan.

Apabila akad hibah telah sesuai dengan rukun dan syarat yang telah ditetapkan, maka akad tersebut akan terikat pada hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Salah satunya yaitu tetapnya kepemilikan bagi mauhub lah (penerima hibah) terhadap barang yang sudah dihibahkan tanpa adanya imbalan. Ketika sudah demikian, wahib (pemberi) tidak diperbolehkan mengambil kembali barang tersebut karena hibah tergolong akad yang ja’iz min ath-tharafain ketika barang sudah diserahterimakan.

Akad hibah terdiri dari 4 rukun yang harus dipenuhi, yaitu:

  1. Wahib, pemberi. Syaratnya yaitu:
  2. Pemilik barang yang akan dihibahkan
  3. Memberikan dengan suka rela
  4. Diperbolehkan melakukan akad hibah
  5. Mauhub lah, penerima hibah. Syaratnya yaitu harus mampu menerima barang yang diberikan sehingga hibah dianggap sah walaupun penerimanya seorang bayi yang baru lahir. Jika penerimanya adalah ghair mumayyiz, maka dapat diwakilkan kepada walinya.
  6. Mauhub, barang yang dihibahkan. Setiap barang yang sah diperjualbelikan maka sah pula dihibahkan. Namun terdapat barang-barang yang sah dihibahkan namun tidak sah diperjualbelikan seperti 2 biji gandum, beras, atau sejenisnya karena barang terebut dianggap sepele.
  7. Shighah. Syarat syighah adalah:
  8. Antara ijab dan qabul harus muttashil
  9. Tidak terikat dengan syarat/ta’liq
  10. Tidak dibatasi oleh waktu/ta’qit. Hal ini dikarenakan akad hibah merupakan kepemilikan yang tidak terbatas dalam kondisi apapun.
    (Nadhifatun Nahdhia)

Berikut ini adalah hasil musyawarah kitab keempat Ma’had al-Jami’ah al-‘Aly tentang wakaf yang bisa diunduh disini

Leave a Reply