MA’HAD AL-JAMI’AH AL-ALY; MEMBANGKITKAN KEMBALI INTEGRASI KEILMUAN DI MASA DINASTI ABBASIYYAH

On 04/09/2019 by admin

Masih ingatkah kita tentang kejayaan Islam dengan ilmu pengetahuan yang unggul beberapa abad lalu? Ya, tepatnya pada masa Dinasti Abbasiyyah, lahirlah banyak ulama’ sekaligus ahli dalam bidang sains. Sebut saja Ibnu Sina; Sang Bapak Kedokteran, Al-Khawarizmi; Penemu angka nol dan penggagas konsep aljabar dalam matematika, Imam Al-Ghazali; Seorang filsuf dunia dan masih banyak lagi yang lainnya. Mereka adalah role mode dalam integrasi ilmu agama dan ilmu sains.

Jika sejenak kita memperhatikan yang terjadi pada masa sekarang, tak banyak -bahkan bisa dikatakan tidak ada- yang mencoba mengurai lalu membangun integrasi keilmuan sebagaimana yang terjadi pada masa Dinasti Abbasiyyah tersebut. Tampak nyata dalam kehidupan sekarang, bahwa orang yang cenderung pada ilmu umum akan bergelut dengan hal-hal yang bersifat duniawi pula. Seperti yang terjadi di berbagai sekolah formal, perguruan tinggi dan lain-lain. Sedangkan seseorang yang memiliki kecenderungan terhadap ilmu agama, akan terus menerus berkutat dengan kutub al-turats (kitab-kitab ulama klasik) di lembaga keagamaan, seperti pondok pesantren. Hal inilah yang kemudian menjadikan seseorang hanya fokus pada satu ilmu tertentu dan lemah pada bidang lainnya.

Mengacu terhadap permasalahan tersebut, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menerobos asumsi yang telah mendarah daging dalam masyarakat Indonesia. Bahwa para ilmuwan yang profesional hanya lahir dari alumni perguruan tinggi dan agamawan hanya lahir dari kalangan pondok pesantren. Kampus yang mempunyai ciri khas World Class University ini menggagas sebuah program yang tak lazim di kalangan perguruan tinggi. Bagaimana tidak? UIN Malang dengan Pusat Ma’had Al-Jami’ah yang menjadi Ma’had percontohan PTKIN se-Indonesia, telah menciptakan sebuah program yang menjadi tempat integrasi antara ilmu dunia dan ilmu agama. Ma’had Al-Jami’ah Al-Aly menjadi wadah para mahasiswa untuk memperdalam pemahaman agama, khususnya dalam mengkaji kitab-kitab turats yang menjadi dasar dari pengamalan ibadah amaliyah dan sumber hukum dari berbagai permasalahan muamalah yang dihadapi kaum muslim.

Sebagian dari kita mungkin tidak asing dengan istilah Ma’had Aly, yang merupakan jenjang pendidikan setingkat perguruan tinggi di lingkup pondok pesantren. Ma’had Aly menjadi tempat para santri untuk lebih memperdalam keilmuan dengan satu fokus kajian atau jurusan. Perbedaan yang spesifik dari Ma’had Aly pondok pesantren dengan Ma’had Al-Jami’ah Al-Aly UIN Maliki adalah dari segi pengelolaan. Karena Ma’had Al-Jamiah Al-Aly yang digagas UIN Maliki ini berada dibawah naungan perguruan tinggi, oleh karena itu tersisip kata AlJami’ah yang berarti perguruan tinggi/universitas. Di sisi lain, dari sistem pembelajaran juga akan lebih tampak perbedaannya. Mahasiswa yang menjadi bagian dari Ma’had Al-Jami’ah Al-Aly ini akan menghadapi dua kali perkuliahan, yaitu perkuliahan reguler sesuai jurusan masing-masing pada pagi sampai sore dan malamnya melaksanakan kuliah Ma’had Aly dengan mengkaji kitab turats sesuai kurikulum yang ditentukan. Tidak hanya tuntutan untuk menjalani dua kali perkuliahan, namun mahasiswa sekaligus mahasantri ini akan menempuh dua kali ujian, dua kali masa pengabdian dan tugas akhir (skripsi) yang nantinya akan berujung pada pemerolehan dua gelar sarjana setelah lulus (double degree).

Kurikulum yang diberlakukan dalam program Ma’had Al-Jami’ah Al-Aly ini yaitu kurikulum pengajaran dengan konsentrasi “Fikih Berbasis Karakter”. Mengapa memilih fikih, sedangkan ada banyak fokus kajian ilmu yang bisa didalami seperti Ilmu Falak, Ilmu Hadits maupun Ilmu Al-Qur’an? Dr. KH. Akhmad Muzakki M.A yang saat ini menjabat Mudir Pusat Ma’had Al-Jami’ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sekaligus Ketua Pusat Ma’had Al-Jami’ah PTKIN se-Indonesia ini mengatakan bahwa kenyataan yang ada pada masyarakat Indonesia, seseorang dapat disebut sebagai kyai jika ia memiliki pemahaman ilmu agama berupa ilmu fikih, karena fikih adalah ilmu pertama dan utama untuk mengatur ubudiyah dan muamalah umat Islam.

Selaras dengan visi-misi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yaitu mencetak Ulama’ berintelektual dan Intelektual yang Ulama’, maka Ma’had Al-Jami’ah Al-Aly adalah langkah konkrit dalam mewujudkan visi-misi ini. Ketika para Mahasantri lulus dari program, diharapkan mampu menjawab tantangan zaman dengan berbagai kompleks permasalahan yang ada, antara lain mampu menjadi Fuqoha’, Mufti, Mustasyar, Muballigh, Mua’allim, anggota MUI, juga terjun dalam BAZNAS dan KBIH yang ada di seluruh Indonesia. “Firman Allah Swt yang berupa bahasa langit itu harus dibumikan. Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah Al-Aly UIN Maliki menjadi wasilah untuk berpartisipasi dalam membumikan kalamullah melalui pemahaman kitab turats. Dengan adanya program ini saya yakin akan lahir kembali Al-Ghazali baru, Ibnu Sina baru, Al-Khawarizmi baru dan duplikat dari ulama’-ulama’ lain seperti pada masa Dinasti Abbasiyyah”, pungkas Kyai Muzakki. (Lilik Iswanti).

Leave a Reply